Institut Humor Indonesia Kini (IHIK)

Kajian Humor Indonesia dan Mancanegara

Kajian Humor

WHAT DO YOU THINK ABOUT THESE CARTOONISTS?

_____________________________________________

The real maestro Indonesian Cartoonist (Click Here)

Wawan Bastian, Kartunis Kokkang Lulusan Majalah HumOr (Click Here)

The young maestro Indonesian Cartoonist part one   (Click Here)

The young maestro Indonesian Cartoonist part two (Click Here)

As a cartoonist, M Najib is “something” different…(Click Here)

A glance of Kokkang profile and its works…(Click Here)

Another style of Qomar Sosa’s works from Kokkang (Kaliwungu Cartoonist Association) (Click Here)

One of the Indonesian funny cartoonist.(click here)

Koesnan Hoesie, kartunis senior yang khas. Opininya cerdas dan membekas. Kadang agak “buas”. Sebagai penjaga gawang norma, ia sangat berbeda. Dengan goresannya yang ekspresif dan imajinatif, Hoesie tak segan menyentil kesadaran kita pada titik yang paling subtil. (Click here...)

Talking about Rolf Heimann, the great cartoonist from Australia. (Click here…)

——————————————————————————————————————————–

Kartun

otak-kartun-dodo-karundeng

Senyuman Komodo Gokil

Kartun adalah anak resmi perkawinan seni gambar dan humor. Bila karya para kartunis muda yang merebut perhatian di masa kini, seperti Jitet Koestana, Tommy Thomdean, Didie SW, dan Arif Sutristanto dalam buku Indonesian Damn Good Cartoon (2010) diperhatikan, maka dapat dipercaya dan dibuktikan, betapa peringkat artistik kartun Indonesia sekarang bukan sekadar “tinggi”, tetapi juga berbanding setara dengan selera maupun kecerdasan humornya. Justru karena itu perlu diingat, adalah dalam keberpadu-padanan artistik dan humor itulah letak keutuhan karya kartun, bukan tinggi-rendahnya “peringkat” artistik dan humor itu sendiri. Ujaran lama Fongasse, gambar humor (pictorial humour) tidak dinilai atas dasar ekspresi artistik melainkan juga sebagai humor. Dengan begitu humor bagus dinilai lebih tinggi dari humor buruk, meskipun gambar humor buruk ini dikerjakan seniman gambar terbaik di dunia (1956: 2).

Dengan catatan tersebut, cobalah tengok kartun Dodo Karundeng dalam pameran tunggalnya, Otak Kartun, yang berlangsung dari tanggal 19 sampai 28 Februari 2012 di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Jika coretan Dodo memang bukan coretan seorang wonder boy dalam seni gambar, maka apakah yang bisa diperbincangkan dari pendekatan humornya?

kartun-dodo

Berotak, tapi …

Dengan tema “otak” semula saya pikir ini terkait dengan pendekatan Koestlerian, bahwa logika humor dengan jurus bisosiatifnya (tawa adalah produk pemelesetan harapan) adalah juga pola dalam kerja intelektual, sebagaimana berlaku dalam penemuan ilmiah maupun kreasi artistik. Namun dalam pengantarnya sendiri, Dodo menulis: “Orang banyak selalu mengaitkan otak dengan kecerdasan. Ternyata ada otak yang disebut bodoh juga?” Memandang Indonesia di media massa, yang jarang mengundang decak karena kecerdasannya, mungkinkah menggambarkannya kembali dalam kartun yang berotak?

Saya kira kartun Dodo memang bikin kepala berpikir.Gambar poster pameran itu sendiri misalnya, komodo lari di atas sepatu roda dalam Olympiade, buntutnya pun diberi roda pula.Apakah ini komodo Indonesia yang lucu dan cerdas? Ataukah komodo Indonesia yang dalam wilayah fair play pun dengan santainya sengaja curang? Dalam teori humor, tentu ini tergolong humor dalam teori resolusi-keganjilan, bahwa untuk tertawa orang harus mikir dulu, sebagai perbaikan dari teori keganjilan yang lupa mempertimbangkan, bahwa faktor kejutan-dadakan bukanlah satu-satunya kunci sukses humor. Nah, di sini gambar itu menjadi kritis, karena jika yang “normal” terkandung dalam logo Olympiade, yang “ganjil” tentu perilaku komodo Indonesia kebanggaan tersebut.

Dalam banyak kartun, Dodo tampak bergaya lama, bagaikan kartun-kartun tahun 1950-an yang ganas, dan membuat pemburu humor “tinggi” akan sulit tertawa, kecuali dalam teori superioritas atau penghinaan, bahwa tawa ditemukan saat melihat ketertindasan orang lain, yang termuasalkan pertama kali dalam Leviathan (1651) karya Hobbes. Tentu, ketika Freud membenarkan humor sebagai bentuk agresi, dan Henri Bergson menegaskan keberpihakan humor, belum dipertimbangkan bahwa penindas yang tertawa sangat mungkin mayoritas tertindas itu. Jadi, penguasa korup dalam kartun Dodo sengaja ditindas, digantung, disiksa, dipermalukan, dengan cukup kejam dan kasar, demi tawa kaum dhuafa yang terkorbankan.

Namun kartun yang paling “berbahaya” tampaknya justru salah satu kartun yang paling halus daya tohoknya, tetapi sekaligus paling mengena bagi yang merasa, yakni kartun bergambar pion catur, tetapi yang berbayang-bayang bentuk raja. Meskipun mudah tersarankan kesan bahwa “sang raja” dalam kehidupan nyata ternyata hanyalah pion (yang entah digerakkan siapa), tetapi cara penggambaran seperti ini adalah bentuk humor reflektif a la kartun Saul Steinberg,yang taksekadar menyunggingkan senyum, melainkan juga memberikan suasana dramatik bagi percaturan politik, yang memang telah mencapai taraf “tidak lucu lagi”.

Komodo: Manusia Indonesia?

Favorit saya sendiri adalah kartun dua komodo, satu pasien, lainnya psikolog yang mendengarkan dan mencatat keluhan pasien, di ruang konsultasi yang temboknya berhiaskan Garuda Pancasila. Apa makna ekor komodo-pasien yang berubah menjadi belalai gajah tersebut? Diam-diam suka menyedot dan menyemprotkan air? Ekor komodo-psikolog itu pun, apakah maksudnya menembus kursi yang bolong? Jika kartun-kartun Gary Larsson dalam keajaiban para dinosaurusnya sungguh menohok, kartun Dodo ini taklangsung begitu. Namun tanpa dapat memecahkan teka-tekinya pun, kartun ini memberikan kebahagiaan dan rasa lucu dari senyum sang komodo-pasien. Apa ya yang membuat si doi tersenyum?

Masih banyak lagi kartun Dodo Karundeng, dan masih banyak lagi para KTS (“Kartunis Tanpa Suratkabar”) yang memberikan kontribusi bagi keseimbangan kesehatan (jiwa) khalayak, dengan membantu proses katarsis “menindas para penindas” di dalam bidang-bidang kartun empat persegi, wilayah kekuasaan mutlak para kartunis tersebut.

SENO GUMIRA AJIDARMA, Wartawan.

===========================================================================================

Punch Cartoon

Pameran Kartun Sedunia di Solo

Memperluas Pergaulan Budaya

Oleh Darminto M Sudarmo – darminto.ms@gmail.com

Pencinta seni humor – penulis buku satir sosial politik “Republik Badut”.

Suhu politik yang makin meningkat akhir-akhir ini, baik karena wacana soal koalisi maupun kemelut di beberapa internal partai politik yang ramai dibicarakan media, tidak harus membuat kita semua ikut-ikutan tegang dan senewen. Masyarakat Solo dan sekitarnya justru akan dihibur oleh pemandangan lain yang sama sekali berbeda.

Pemandangan itu berupa pameran kartun di Monumen Pers, Solo. Bertajuk: Solo Internationan Cartoon Exhibition 2014. Mengusung tema yang cukup menarik: Pameran Kartun Akbar. Semacam upaya memperluas jangkauan pergaulan budaya.

Pameran yang diselenggarakan dari 28 – 30 April 2014, seakan terasa sangat bergegas. Menyajikan materi yang sangat beragam. Dari kartun gag (lelucon murni), kartun opini (political cartoon atau editorial cartoon, yang secara salah kaprah di Indonesia disebut sebagai karikatur), karikatur wajah (caricature: lelucon tentang tokoh-tokoh public figure atau yang sedang menjadi gunjingan di masyarakat), kartun rupa (digarap di atas kanvas-layaknya seni lukis pada umumnya), kartun instalasi (karya rupa kartun tiga dimensi dengan maksud mengubah persepsi ruang), dan beberapa jenis kartun lainnya.

Meskipun begitu banyak jenis kartun, namun sejauh ini belum pernah atau bahkan tak ada yang menyajikan pameran kartun dalam bentuk animasi, padahal beberapa kartunis Indonesia telah pernah terlibat dalam pembuatan kartun animasi maupun memproduksi kartun animasi. Semoga di kali yang lain karya kartun animasi juga dapat menyemarakkan perhelatan strategis seperti ini.

Peserta pameran, kartunis Indonesia dan kartunis mancanegara. Sebagian karya pernah ditampilkan dalam pameran kartun akhir tahun 2013 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Sebagian yang lain, materi baru dari kartunis Solo dan luar negeri.

Begitu efektifnya fungsi kartun dalam komunikasi, di manapun diselenggarakan pameran kartun senantiasa mengundang reaksi masyarakat untuk datang dan menonton. Ini mengingatkan kita semua bahwa seni grafis berbasis visual yang memuat kandungan lucu itu sangat dekat dengan masyarakat. Di beberapa Negara maju, penguasa lebih peduli (baca: takut) jika ada kritik yang disampaikan lewat kartun opini di sebuah media dibandingkan misalnya dengan kritik yang disampaikan lewat tulisan.

Rupa-rupa Seni Kartun

Dalam perkembangannya kini, kartun tidak lagi berkutat pada seni grafis, yang dipublikasikan hanya di media cetak – koran, majalah, dan buku – namun ia telah mengembangkan media ekspresinya sedemikian rupa, sehingga ia juga memanfaatkan berbagai media yang ada. Dalam beberapa kasus, ada beberapa kartunis yang juga memanfaatkan media kanvas dan gambar disajikan layaknya seni lukis. Para kartunis ini menyebutnya kartun rupa (cartoon painting/oil).

Dalam literatur seni kartun, belum ada yang secara eksplisit menyebut istilah cartoon painting atau cartoon oil, dalam konteks aliran seni kartun sebagai suatu kredo. Bahkan satiris Inggris, John Leech (1817-1864), yang di kemudian hari karya-karyanya banyak digolongkan pengamat sebagai bercorak kartunal/karikatural, mulanya lebih dikenal sebagai karikaturis (pelukis wajah yang berisi sindiran) dan ilustrator. Salah satu karya karikaturnya yang sangat popular berjudul Substance and Shadow dimuat pada 1843, di Majalah Punch, majalah humor terkemuka pada zamannya, terbit di Inggris. Sebagai illustrator, karya Leech juga menghiasi buku Charles Dickens; salah satu di antaranya A Christmas Carol.

Pada tahun 1843, pelukis Inggris John Callcott Horsley (29 Januari 1817-18 Oktober 1903) dikenal pula sebagai pencipta Kartu Natal pertama di dunia yang ilustrasi kartunya mengundang kontroversi karena menggambarkan anak kecil sedang meminum anggur, lewat karyanya yang berjudul St Augustine Preaching memenangi sayembara Westminster Hall. Karya lukisnya ini disebut orang sebagai karya kartun. Itu terjadi lantaran muatan sindiriannya yang sangat kuat.

Setahun kemudian Horsley terpilih sebagai salah seorang dari enam pelukis yang ditugaskan untuk membuat lukisan dinding di Gedung Parlemen Inggris. Tampaknya para pelukis itu berkecenderungan untuk usil, gambar-gambar yang dihasilkan sarat bermuatan sindiran atau kritik sehingga fenomena ini menjadi catatan tersendiri, khususnya terkait dengan Parlemen Inggris ketika itu. Parlemen menjadi bahan lelucon dan tertawaan, ini jadi mengingatkan citra DPR kita dalam dua dekade ini yang tak jauh berbeda.

Hal unik lain yang mungkin lolos dari perhatian kita, dapat dilihat pada lukisan-lukisan karya Heri Dono, Eddie Hara, Erica, dan I Nyoman Masriadi (sekadar menyebut nama), yang proporsi bentuk dan gagasannya cenderung kartunal dan bernuansa humoristis. Pertanyaannya kemudian adalah apakah para kartunis yang mengekspresikan karyanya dalam bentuk kartun rupa merupakan sebuah kredo dan bermuatan gagasan baru? Tentu tidak. Karena asal mula seni kartun sesungguhnya berasal dari seni lukis; maka “gerakan” itu lebih bisa ditandai sebagai upaya back to basic. Kembali ke khitah saja.

Kartun Instalasi

Tak terkecuali dengan kartun instalasi. Pemanfaatan konsep dan gagasan lebih merupakan peminjaman media yang sudah lama menjadi salah satu tradisi seni lukis kontemporer. Dalam pengertian umum, seni instalasi menggambarkan genre seni karya tiga dimensi yang spesifik dan dirancang untuk mengubah persepsi ruang. Umumnya, istilah ini diterapkan pada ruang interior, sedangkan intervensi eksterior sering disebut land art, namun batas-batas antara istilah-istilah ini tumpang tindih.

Dalam literature disebutkan gerakan seni instalasi dimulai akhir tahun 1960-an dan menjadi dikenal pada 1970-an , nama-nama seniman yang acapkali disebut terkait dengan gerakan ini (maupun gerakan sebelumnya: seni konseptual) adalah Marcel Duchamp, Kelompok Gutai di Jepang, Allan Kaprow, Sol LeWitt, Joseph Kosuth , Lawrence Weiner dan beberapa lainnya.

Hal terpenting dari seni instalasi adalah “niat” yang menyelinap di balik penampilan ujudnya. Ujud karya dapat dibuat dari racikan berbagai bahan sehari-hari/alami untuk dapat menggugah kualitas persepsi-impresi.

Seni instalasi hasil besutan para kartunis, agak berbeda; tidak bertumpu pada upaya mengulik rasa dan imajinasi, namun lebih mengerucut pada kumulasi persepsi yang di akhir kumulasi tiba pada situasi yang berbeda atau tak terduga sama sekali; sehingga muncul respon kaget, surprised dan di titik itulah terjadi reaksi penonton dalam bentuk senyum atau tawa.

Oleh karena itu secara bergurau, proses kreatif bekerjanya seni humor – dalam makna seluas-luasnya, tak terkecuali seni kartun instalasi maupun seni kartun lainnya– selalu mengakomodasi teknik tipu-menipu. Hanya saja jenis tipuan versi seni humor tidak merugikan orang lain, tetapi justru menyenangkan atau menimbulkan tawa. Kaitannya dengan situasi politik saat ini, pandai-pandailah menyikapi keadaan. Kalau mungkin Anda menertawakan keadaan lebih baik daripada larut dalam arus “perseteruan” dua kubu Capres yang kelihatannya kurang sehat dan kekanak-kanakan.

– Dimuat di Harian Solopos, 28 April 2014

Tinggalkan komentar